Indonesia Terhambat karena
Bahasa (?)
Oleh Diana Putri
Ananda
Deretan Sejarah Indonesia
membuktikan betapa berharganya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu
bangsa. Salah satunya adalah Soempah
Pemoeda tanggal 28 Oktober 1928 yang mengungkapkan bahwa Bahasa Indonesia
merupakan Bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi. Namun, semakin lama
sejarah itu kini mulai banyak dipertanyakan. Masyarakat acapkali menjadikan Bahasa
Indonesia sebagai sebuah objek hangat untuk diperbincangan bahkan tidak sedikit
pula yang berpendapat kehadiran Bahasa Indonesia adalah sebuah masalah.
Sebagai contoh, berdasarkan
catatan Data Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kemendiknas menyebutkan bahwa dari 1.522.162 peserta UN SMA/MA 2010 sebanyak
154.079 siswa atau setara kurang lebih 10% siswa diharuskan mengulang karena tidak lulus Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia. Sebagian pengamat menilai hal ini didorong oleh
terlalu teoritisnya pembelajaran Bahasa Indonesia yang seharusnya dibuat
semenarik mungkin dan lebih dikaitkan kepada praktik kehidupan sehari-hari.
MEA 2015 atau singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah
dirancang sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada Desember 1997 di
Kuala Lumpur dan akan diresmikan akhir tahun 2015 ini awalnya dipandang sebagai
sebuah peluang besar untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa standar
MEA. Namun harapan ini sirna dikarenakan berbagai hal diantaranya ;
1. Sulitnya masyarakat luar negeri mempelajari Bahasa Indonesia
misalnya ketika mengucapkan satu kata yang sama ditulisan namun berbeda cara
pengucapannya (homograf).
2. Terlalu banyak ketentuan dalam penggunaan Bahasa Indonesia seperti
EYD, Bahasa Majemuk, dsb.
3. Banyaknya ungkapan Bahasa Indonesia yang menjadi sulit dan aneh
jika diinternasionalkan seperti si jago merah yang sebenarnya berarti api yang menyebabkan kebakaran, dsb.
4. Indonesia masih tergolong kurang maju dari segi teknologi dan
perekonomian.
5. Kosakata Bahasa Indonesia masih tergolong sedikit yaitu 91.000
sedangkan Bahasa Inggris mempunyai 1 juta kosakata dan setiap tahun bertambah 8.500.
6. Penggunaan kata yang baku sehingga yang mengucapkannya disebut
kaku.
7. Masih sedikitnya lembaga pembelajaran Bahasa Indonesia.
Ditambah lagi ketika Presiden Joko Widodo melalui perintahnya pada
pertengahan 2015 untuk menghapus persyaratan Tenaga Kerja Asing pada poin wajib
berbahasa Indonesia yang tertuang dalam Permenakertrans Nomor 12 tahun 2013
pasal 26 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan alasan untuk meningkatkan
minat para investor menanamkan sahamnya di Indonesia. Perintah tentang
penghapusan persyaratan tersebut pun tidak hanya menjadi sebuah dongeng
melainkan telah dikabulkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Hal ini dinilai
oleh berbagai ahli akan mengakibatkan semakin kecil kemungkinan Bahasa
Indonesia maju dalam kancah Internasional. Salah satunya adalah Anggota Komisi IX
bernama Robert Rouw yang pada hari Minggu tanggal 23 Agustus 2015 berpendapat
bahwa, “Penghapusan syarat wajib berbahasa Indonesia itu tidak sesuai dengan
konsep Trisakti yang Presiden Jokowi gadang-gadang saat ini, terutama pada poin
berkepribadian dalam budaya,”.
Tak pelak lagi anggapan bahwa, “Bahasa
Indonesia yang segogyanya kita junjung tinggi ini telah menjadi hambatan” kini terasa
semakin kuat. Faktor meningkatnya rasa haus terhadap penguasaan Bahasa Asing,
Tingginya tuntutan dalam persaingan kerja, penggalakkan penggunaan Bahasa
Inggris dalam kehidupan sehari-hari lambat laun semakin memojokkan Bahasa Indonesia.
Dikhawatirkan kenyataan seperti ini akan menyingkirkan para pekerja Indonesia
diberbagai daerah yang notabene masih mayoritas berpenghasilan menengah kebawah
dan tidak terlalu fasih berbahasa asing.
Namun, kenyataan diatas tidak dapat serta merta menurunkan semangat
dan bangga kita terhadap Bahasa Indonesia karena harapan harus tetap ada. Anggapan
buruk terhadap Bahasa Indonesia harus kita sudahi agar terwujud Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar