KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Alloh SWT, atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kebudayaan Suku Baduy”, makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Diharapkan makalah ini dapat
menambah pengetahuan untuk saya selaku penuliis maupun pembaca.
Depok, September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.....................................................................................
1
DAFTAR ISI ..................................................................................................
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.............................................................................................
3
1.2 Suku Baduy...................................................................................................
3
1.3 Pembagian
Kelompok...................................................................................
3
1.3.1 Kelompok tangtu
(baduy dalam).............................................................. 3
1.3.2 Kelompok
Masyarakat panamping (baduy luar)...................................,. 4
1.3.3 Kelompok
Baduy Dangka
........................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mata
Penceharian....................................................................................
5
2.2
Hukum di dalam Masyarakat
Baduy....................................................... 5
2.3
Segi
Berpakaian...................................................................................,...
7
2.4
Bahasa.....................................................................................................
8
2.5
Kepercayaan............................................................................................
9
2.6
Tarian......................................................................................................
10
2.7
Pernikahan..............................................................................................
11
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan...........................................................................................
6
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan
dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
1.2 Suku Baduy
Provinsi Banten memiliki
masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy
yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan
masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah
Baduy atau biasa disebut juga dengan
masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten.
Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau
oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa
memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku
baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.
1.3 Pembagian Kelompok
Masyarakat Kanekes secara umum
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.
1.3.1 Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di
pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu
orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam
tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang
Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai
ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing,
mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki
tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf
yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak
boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan
mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal
sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari
peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa
menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan
untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi
sungai.
1.3.2 Kelompok masyarakat panamping
(baduy Luar),
mereka tinggal di desa Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam.
Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda
lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti
bersekolah.
1.3.3 Kelompok Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah
Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi
sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mata
Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy
adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari
hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin
diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat
yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya
interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan
mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan
jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan
tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya
dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
2.2 Hukum di didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan
pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke
dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua
atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi
mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan
hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat
peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga
pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika
hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy
Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan
Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan
ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman
berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah
setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam
hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara
ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang
memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari
satu. Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau
mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi
pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya,
jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan
hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan
pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara
yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri
yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman.
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran
berat dan pelanggaran ringan.
2.3 Segi Berpakaian
Dari segi berpakain, didalam suku
baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan
tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy
Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang,
Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong
baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya
menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun
harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung
warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang.
Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Serta
pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih.
Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang
panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy
yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna
suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang
mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti
baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan
kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.
Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari warna, model
ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah
terpengaruh oleh budaya luar.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai
di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan
perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah
sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru
kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah,
biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis
buah dadanya harus tertutu. Dalam kehidupan keseharian manusia,
berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan
citra diri terhadap orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat
suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari
menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut
motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya
menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita
hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan
selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil
tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya
dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan
antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain
itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah
membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun
benang yang dicelup.
Dalam hal ini masyarakat
Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal
berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap
di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok
masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy
Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam
pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki
satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang
dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan
itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam
merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai
budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini
berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan
antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya
berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana
hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu
Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika
hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik
pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang
dicangklek (disandang) di pundaknya.
2.4 Bahasa
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan
tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena
pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan
pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga
hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk
mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah
mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya,
mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
2.5
Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau
masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan
pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi
oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari
kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan
adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes
adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral.
masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali
pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang
menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut
ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu
merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen
akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh,
maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya
ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja
yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu
lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat
penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu
juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan
pada panen.
Lojor
heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut
dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidangpertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah
kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak
mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga
kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah
Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur,
polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum
sebelum masuknya Islam.
2.6 Tarian
Tarian yang merupakan gambaran dari kebiasaan Suku
Badui dalam menyambut musim panen raya. Para penari menarikan tariannya dengan
sangat menjiwai. Ditambah dengan bau dupa yang menyengat, menambah aura mistik
dan sakral tarian yang mereka bawakan. Diawali dengan seorang penabuh bedug, datanglah
seorang penari wanita membawa sesaji, kemudian ditaruh pada sebuah nampan
besar. Setelah itu didoakan dan dibagikan secara simbolik. Di daerah Baduy,
Banten setiap kali musim panen raya akan diadakan upacara Serentanen, yang
merupakan upacara adat sakral di daerah tersebut.
Macapada merupakan adaptasi dari upacara Serentanen
suku Baduy, Banten.Dalam upacara tersebut suku Baduy luar akan memberikan
persembahan kepada suku Baduy Dalam. Persembahan tersebut nantinya akan
didoakan sesuai adat Baduy dan oleh Baduy Dalam nantinya akan di bawa ke kota
untuk diserahkan kepada pihak pemerintah. Sebagai perwakilan biasanya diterima
oleh Bupati setempat. Upacara Serentanen ini berasal dari suku Baduy asli.
2.7 Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang
dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun,
pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya
pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan,
kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua
laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih,
buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang,
dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja
putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan
rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi
dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan
pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal
poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika
salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal
tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Orang Baduy Dalam tidak mau di
masuki budaya dari luar sedangkan Baduy Dalam sudah mau mengikuti budaya dari
luar meskipun sedikit.
Orang Baduy tidak mengenal poligami
dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah
satu dari mereka telah meninggal.
Di dalam proses pernikahan suku
baduy pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya
pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
http://rezasuryasesanti.blogspot.com/2013/02/makalah-kebudayaan-suku-baduy.html